Sabtu, 30 April 2016

Ketika Kurikulum telah Berubah

Pelatihan PAIKEM “Ketika Kurikulum telah Berubah”

Guru merupakan aset utama pendidikan yang dituntut memiliki empat kompetensi utama, yakni kompetensi paedagogik, profesional, sosial, dan kompetensi kepribadian. Empat macam kompetensi ini, tanpa terkecuali, harus melekat kuat dalam diri setiap orang yang bercita-cita ingin berprofesi sebagai seorang pendidik di tingkat satuan pendidikan manapun di Indonesia. Walaupun sejatinya orientasi jabatan keguruan adalah pengabdian, namun sebagai sebuah “proyek” masa depan bangsa, guru adalah profesi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu. Walaupun faktanya guru adalah profesi yang kesejahteraannya masih terbilang minim, setiap guru harus berupaya memenuhi segenap kewajiban demi memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya.
Munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan secara penuh di tahun 2004, kemudian disempurnakan kembali dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 yang lalu terbilang telah banyak memberikan perubahan dalam struktur pendidikan di Indonesia. Munculnya dua kurikulum baru ini secara historis memang tidak bisa dipisahkan dari tuntutan kondisi masyarakat dan bangsa yang masih kuat dipengaruhi oleh euforia reformasi kala itu. Perubahan kurikulum ini tak lain adalah jawaban pemerintah dalam rangka mempercepat penuntasan reformasi di bidang pendidikan. Reformasi pendidikan ini pulalah yang kemudian juga melatar belakangi pembentukan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai pengawal keberhasilan sistem pendidikan nasional melalui pembuatan delapan standar nasional pendidikan.
Diberlakukannya KTSP 2006 merupakan penjabaran dari skema reformasi pendidikan  yang mendesak agar bisa diwujudkannya otonomi pendidikan yang selaras dengan iklim otonomi daerah. Kurikulum pendidikan kita pada hari ini tidaklah lagi bersifat sentralistik dengan  menekan guru untuk melaksanakan paket kurikulum dari pusat tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan di tingkat daerahnya. Artinya, keberhasilan pendidikan nasional tidak lagi hanya menjadi beban tanggung jawab pemerintah pusat saja, tetapi seluruh stakeholder pendidikan, baik itu pemerintah daerah, dewan pendidikan, sekolah, komite sekolah, guru dan juga segenap masyarakat. Dari sinergisasi ini diharapkan dapat mengembangkan pola pengelolaan pendidikan yang memiliki kultur partisipatif .
Kesulitan dalam menyusun kurikulum salahsatunya dikarenakan banyak dipengaruhi oleh keterbatasan guru dalam menguasai bidang keilmuan yang harus diajarkannya. Umumnya guru lebih senang mengajar dengan mengacu pada buku-buku cetak pegangan siswa, bukan langsung dari referensi keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Katerbatasan keilmuan guru dapat dilihat  dari data milik Departemen Pendidikan Nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 yang menyebutkan bahwa 77,85 persen guru di tingkat SD dinyatakan tidak layak menjadi guru. Besarnya angka tersebut tentunya merupakan konsekuensi dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menuntut guru SD harus berlatar belakang pendidikan minimal S1, sedangkan selama ini guru SD biasanya hanya berpendidikan D2 atau bahkan masih banyak yang masih berpendidikan SPG/SMA.
Tak bisa dipungkiri, pengembangan kurikulum di sekolah juga terhambat oleh masih minimnya kesejahteraan guru. Gaji guru yang rendah, terutama guru honorer, mengakibatkan para guru menjadi sulit untuk melakukan pengembangan diri. Jangankan untuk membeli buku atau mengikuti pelatihan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya saja masih ada ribuan guru yang masih bergulat dengan kemiskinan karena pendapatannya berada di bawah rata-rata upah buruh di pabrik, padahal mereka adalah tenaga pendidik yang berpendidikan. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistio, bahwa perlu ada keberpihakan semua pihak untuk membantu menjadikan guru di Indonesia lebih bermartabat dan profesional diantaranya melalui pengaturan supaya gaji guru layak atau minimal sama dengan upah umum di daerah (Kompas, 27 Oktober 2009). Peningkatan mutu guru memang tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi, namun agar adil, hal ini harus pula diiringi dengan peningkatan kesejahteraan guru.
Guru adalah eksekutor terakhir yang memegang kunci keberhasilan reformasi pendidikan, karena merekalah yang setiap hari berhadapan langsung dengan wajah pendidikan kita di ribuan sekolah di seluruh penjuru tanah air. Amanah reformasi pendidikan akan berhasil ketika kurang lebih 2,8 guru Indonesia semuanya ikhlas bergerak dan bersatu visi dalam gerakan pengembangan kurikulum mandiri di sekolah ajarnya masing-masing. Bukanlah hal yang utopi jika seratus persen guru Indonesia mau dan mampu menghasilkan kurikulum serta materi ajarnya sendiri. Namun tentunya hal ini memerlukan banyak dukungan terutama pemerintah, baik di pusat atau pun di daerah, agar mampu mensubsidi dan memfasilitasi secara lebih luas beragam program pengembangan profesionalisme keguruan. Sertifikasi yang merupakan program paling populer dalam peningkatan mutu guru selama ini baru bisa memfasilitasi sekitar 500 ribu guru. Sedangkan di belakangnya masih lebih banyak lagi guru yang berdesak-desakan mengantri sambil berharap-harap cemas.
Tak ubahnya laksana seorang pahlawan, guru adalah sosok yang sangat didambakan bisa menjadi sumber inspirasi masyarakat, minimal bagi anak-anak didiknya. Dari kelas ajarnya, sesungguhnya setiap guru memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan penting bagi dunia. Guru dengan berbekal kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosionalnya amat diharapkan agar sanggup memotivasi, membimbing dan memberi teladan bagi siswa-siswi yang setiap hari dididiknya agar kelak menjadi generasi-generasi baru yang mampu mengubah bangsa, bahkan dunia, menjadi jauh lebih baik dari hari ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar