Sabtu, 30 April 2016

Hakekat Belajar, Mengajar dan Pembelajaran

Hakekat Belajar, Mengajar dan Pembelajaran
Belajar adalah proses untuk mengubah diri dari tidak tahu menjadi tahu, dari belum bisa menjadi bisa, dari belum terampil menjadi terampil dan mahir. Sedangkan mengajar sendiri adalah upaya mentransformasi orang lain, yakni peserta didik, agar menjadi tahu, bisa, terampil dan mahir. Bila belajar dan mengajar digabungkan dalam satu aktivitas bersama maka hal ini disebut sebagai kegiatan pembelajaran.
PEMBELAJARAN = BELAJAR + MENGAJAR

Pembelajaran itu sendiri secara konsep dasarnya adalah pertemuan atau persenyawaan antara aktivitas murid belajar dan guru sedang mengajar. Pembelajaran adalah proses peningkatan kemampuan baik di ranah kognitif, afektif dan juga ranah keterampilan melalui aktivitas interaksi antarelemen pembelajaran. Elemen pembelajaran yang dimaksud ada tiga, yakni guru, siswa dan media atau sumber belajar. Apabila terjadi interaksi yang sempurna antara ketiganya, maka itulah yang disebut dengan pembelajaran aktif.
Pembelajaran aktif adalah proses belajar dimana siswa mendapatkan kesempatan yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas belajar, berupa hubungan interaktif dengan materi pelajaran dan sesama pembelajar (siswa dan guru) yang ada di ruangan kelas.Pengalaman belajar merupakan identitas kunci lainnya dari active learning. Pengalaman belajar terbagi menjadi 2 bagian utama, yaitu observasi (observing) dan melakukan sesuatu (doing something).
Hal-hal penting apa saja yang harus guru perhatikan untuk dapat mengembangkan strategi pembelajaran aktif (active learning)? Pertama, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (student-centered learning). Kedua, pembelajaran menggunakan beragam metode dan media belajar. Ketiga, memberdayakan semua indera dan potensi peserta didik. Keempat, pembelajaran harus dikaitkan dengan lingkungan dan pengalaman yang terjadi di sekitar peserta didik (kontekstual).


Ketika Kurikulum telah Berubah

Pelatihan PAIKEM “Ketika Kurikulum telah Berubah”

Guru merupakan aset utama pendidikan yang dituntut memiliki empat kompetensi utama, yakni kompetensi paedagogik, profesional, sosial, dan kompetensi kepribadian. Empat macam kompetensi ini, tanpa terkecuali, harus melekat kuat dalam diri setiap orang yang bercita-cita ingin berprofesi sebagai seorang pendidik di tingkat satuan pendidikan manapun di Indonesia. Walaupun sejatinya orientasi jabatan keguruan adalah pengabdian, namun sebagai sebuah “proyek” masa depan bangsa, guru adalah profesi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu. Walaupun faktanya guru adalah profesi yang kesejahteraannya masih terbilang minim, setiap guru harus berupaya memenuhi segenap kewajiban demi memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya.
Munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan secara penuh di tahun 2004, kemudian disempurnakan kembali dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 yang lalu terbilang telah banyak memberikan perubahan dalam struktur pendidikan di Indonesia. Munculnya dua kurikulum baru ini secara historis memang tidak bisa dipisahkan dari tuntutan kondisi masyarakat dan bangsa yang masih kuat dipengaruhi oleh euforia reformasi kala itu. Perubahan kurikulum ini tak lain adalah jawaban pemerintah dalam rangka mempercepat penuntasan reformasi di bidang pendidikan. Reformasi pendidikan ini pulalah yang kemudian juga melatar belakangi pembentukan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai pengawal keberhasilan sistem pendidikan nasional melalui pembuatan delapan standar nasional pendidikan.
Diberlakukannya KTSP 2006 merupakan penjabaran dari skema reformasi pendidikan  yang mendesak agar bisa diwujudkannya otonomi pendidikan yang selaras dengan iklim otonomi daerah. Kurikulum pendidikan kita pada hari ini tidaklah lagi bersifat sentralistik dengan  menekan guru untuk melaksanakan paket kurikulum dari pusat tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan di tingkat daerahnya. Artinya, keberhasilan pendidikan nasional tidak lagi hanya menjadi beban tanggung jawab pemerintah pusat saja, tetapi seluruh stakeholder pendidikan, baik itu pemerintah daerah, dewan pendidikan, sekolah, komite sekolah, guru dan juga segenap masyarakat. Dari sinergisasi ini diharapkan dapat mengembangkan pola pengelolaan pendidikan yang memiliki kultur partisipatif .
Kesulitan dalam menyusun kurikulum salahsatunya dikarenakan banyak dipengaruhi oleh keterbatasan guru dalam menguasai bidang keilmuan yang harus diajarkannya. Umumnya guru lebih senang mengajar dengan mengacu pada buku-buku cetak pegangan siswa, bukan langsung dari referensi keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Katerbatasan keilmuan guru dapat dilihat  dari data milik Departemen Pendidikan Nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 yang menyebutkan bahwa 77,85 persen guru di tingkat SD dinyatakan tidak layak menjadi guru. Besarnya angka tersebut tentunya merupakan konsekuensi dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menuntut guru SD harus berlatar belakang pendidikan minimal S1, sedangkan selama ini guru SD biasanya hanya berpendidikan D2 atau bahkan masih banyak yang masih berpendidikan SPG/SMA.
Tak bisa dipungkiri, pengembangan kurikulum di sekolah juga terhambat oleh masih minimnya kesejahteraan guru. Gaji guru yang rendah, terutama guru honorer, mengakibatkan para guru menjadi sulit untuk melakukan pengembangan diri. Jangankan untuk membeli buku atau mengikuti pelatihan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya saja masih ada ribuan guru yang masih bergulat dengan kemiskinan karena pendapatannya berada di bawah rata-rata upah buruh di pabrik, padahal mereka adalah tenaga pendidik yang berpendidikan. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistio, bahwa perlu ada keberpihakan semua pihak untuk membantu menjadikan guru di Indonesia lebih bermartabat dan profesional diantaranya melalui pengaturan supaya gaji guru layak atau minimal sama dengan upah umum di daerah (Kompas, 27 Oktober 2009). Peningkatan mutu guru memang tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi, namun agar adil, hal ini harus pula diiringi dengan peningkatan kesejahteraan guru.
Guru adalah eksekutor terakhir yang memegang kunci keberhasilan reformasi pendidikan, karena merekalah yang setiap hari berhadapan langsung dengan wajah pendidikan kita di ribuan sekolah di seluruh penjuru tanah air. Amanah reformasi pendidikan akan berhasil ketika kurang lebih 2,8 guru Indonesia semuanya ikhlas bergerak dan bersatu visi dalam gerakan pengembangan kurikulum mandiri di sekolah ajarnya masing-masing. Bukanlah hal yang utopi jika seratus persen guru Indonesia mau dan mampu menghasilkan kurikulum serta materi ajarnya sendiri. Namun tentunya hal ini memerlukan banyak dukungan terutama pemerintah, baik di pusat atau pun di daerah, agar mampu mensubsidi dan memfasilitasi secara lebih luas beragam program pengembangan profesionalisme keguruan. Sertifikasi yang merupakan program paling populer dalam peningkatan mutu guru selama ini baru bisa memfasilitasi sekitar 500 ribu guru. Sedangkan di belakangnya masih lebih banyak lagi guru yang berdesak-desakan mengantri sambil berharap-harap cemas.
Tak ubahnya laksana seorang pahlawan, guru adalah sosok yang sangat didambakan bisa menjadi sumber inspirasi masyarakat, minimal bagi anak-anak didiknya. Dari kelas ajarnya, sesungguhnya setiap guru memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan penting bagi dunia. Guru dengan berbekal kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosionalnya amat diharapkan agar sanggup memotivasi, membimbing dan memberi teladan bagi siswa-siswi yang setiap hari dididiknya agar kelak menjadi generasi-generasi baru yang mampu mengubah bangsa, bahkan dunia, menjadi jauh lebih baik dari hari ini.


SUARA DARI TAPAL BATAS

SUARA DARI TAPAL BATAS

Benar, tulisan ini menjelaskan perasaanku kepada mereka. Sebagian kecil dari kondisi tapal batas yang dulu mereka berselisih tentangkan dengan Malaysia.

Benar, tulisan ini diperuntukan bagi mereka-mereka yang masih punya iba.

Siapakah yang akan menuntaskan persolan sekolah anak tapal batas ini? Siapa yang lebih berkuasa dan mengetahui tentang persoalan ini? Pada siapa anak-anak ini akan berseru? Benarkah aku kini berada diantara mereka?

Benar, aku tidak akan dapat menjadikan mereka yang mati, mendengar permintaan anak-anak ini. Tidak pula menjadikan orang-orang yang tuli, mendengar panggilan anak-anak yang tak tahu cara meminta. Karena mereka sedang berpaling, menampakkan punggungnya yang kokoh.

Dan aku tidak akan pernah bisa menghadapkan wajah mereka kesana. Ke tempat para anak tapal batas berpijak bak patok perbatasan. Aku tidak dapat menjadikan seorang pun mendengarkan hal ini, kecuali orang-orang yang peduli dan mau bertindak membentang kebaikan untuk anak tapal batas negeri ini.

Maman: Ayah, Biarkan Adikku Tetap Sekolah

Maman: Ayah, Biarkan Adikku Tetap Sekolah

Hari sudah semakin sore, matahari yang jingga pun mulai terbenam di negeri seberang. Kegelapan mulai menyusup, menutupi pepohonan sawit dan pisang di Sekolah Tapal Batas (STB).

Sudah sesore ini, Rudi (siswa PAUD) dan Maman (siswa kelas I MI), dua orang bersaudara yang sama-sama sekolah di STB belumlah datang. Mestinya ayahnya sudah mengantar mereka berdua semenjak ahad sore atau pagi tadi. Senin sampai sabtu Maman dan Rudi tinggal di STB karena rumah mereka yang sangat jauh. Butuh berjam-jam menggunakan motor untuk bisa samoai sekolah.

Pelajaran di hari senin pun mereka tak ikuti. Ummi (sebutan untuk guru di STB) mulai merasa risau. Tak lama berselang saat aku juga mulai merisaukan mereka, tiba-tiba mereka turun dari motor ayahnya. Tak banyak kata yang diucapkan sang ayah kecuali menjawab beberapa pertanyaan dari Ummi Suraidah perihal perlengkapan sekolah Maman dan Rudi. Maman dan Rudi pun masih terlihat malu-malu. Ekspresi mereka begitu jauh berbeda di banding saat pertama aku berkenalann di malam pertama aku tiba.

Setelah menjawab pertanyaan dari ummi, ayah mereka pun pulang tanpa ada kata-kata. Rudi si bungsu menangis kuat karena tak mau di tinggal oleh ayahnya. Berlari mengerjar motor ayahnya yang laju menuruni jalan berkerikil. Kami mendengar jelas suara Rudi dari teras STB.

Maman, sang abang juga berlari menyusul adiknya. Aku pun mengikutinya. Baru kusadari ternyata maman juga ikut menangis. Hanya saja coba di sembunyikannya di balik helaan napasnya yang kepayahan agar tak terlihat olehku. Maman tak ingin terlihat cengeng di hadapan adiknya, aku membatin.

Maman bersedih bukan karena di tinggal oleh sang ayah, tapi merasa kasihan melihat adiknya yang menangis sambil berlari. Rudi tetaplah anak kecil yang belum terbiasa ditinggal oleh orang tuanya. Tapi sang abang bersikap lebih dewasa dari umurnya yang baru genap 8 tahun. Begitulah kehidupan anak-anak di tapal batas ini, keadaan memaksa mereka untuk bisa mandiri.

Shalipp S. Geolfano

Guru Konsultan SGI-DD penempatan Sebatik.

Perjalanan ke Tapal Batas


Perjalanan ke Tapal Batas

Pulau Sebatik. Nama pulau ini baru ku dengar dan membuatku penasaran. Rasa penasaran akan pulau ini pun semakin bertambah semenjak pengumuman penempatan Sekolah Guru Indonesia (SGI) angkatan XVI beberapa hari yang lalu. Nantinya aku akan mengabdi di pulau tersebut selama setahun.

Aku pun mencoba mencari tahu lewat internet tentang pulau ini untuk memenuhi rasa penasaranku tersebut. Beberapa informasi aku dapatkan.

Pulau sebatik adalah pulau kecil yang berada disebelah timur pulau kalimantan. Sama dengan pulau kalimantan itu sendiri, pulau sebatik juga dimiliki oleh negara Indonesia dan Malaysia. Sebelah utara pulau sebatik adalah wilayah Malaysia dan sebelah selatan merupakan wilayah Indonesia. Tepat di perbatasan dua negara inilah nanti aku akan mengabdi selama setahun. Tepatnya di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kecamatan Sebatik Tengan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Di Madrasah Ibidayyah Darul Furqan atau lebih di kenal dengan nama Sekolah Tapal Batas. Kenapa namanya Sekolah Tapal Batas? Itu karena letaknya di perbatasan Indonesia-Malaysia.

Masa pembinaan Sekolah Guru Indonesia selama 3 bulan di bogor telah usai. Tibalah saatnya bagi kami 19 orang Laskar Nusantara SGI XVI mengaplikasikan ilmu membentang kebaikan untuk negeri ini. Aku pun akan menempuh perjalanan menuju ke Sekolah Tapal Batas itu.

Perjalananku menuju Sekolah Tapal Batas dimulai pada pukul 02:00 WIB dini hari yang diawalai dengan apel pelepasan. Setelah pelepasan, kami pun di berangkatkan. Rute perjalanannya adalah dari asrama SGI di Bogor menggunakan mobil menuju Bandar Soekarno-Hatta. Setelah itu terbang menuju Kota Tarakan yang transit terlebih dahulu ke Balik Papan terlebih dahulu. Barulah dari pulau Tarakan ke pulau Nunukan  kami menggunakan Speedboath. Dari Nunukan Perjalananpun di lanjutkan menggunakan perahu kayu bermesin menuju pulau Sebatik. Sebenarnya ada Speedboath yang langsung ke pulau sebatik. Hanya saja saat itu aku terlambat tiba. Kapalnya sudah berangkat sebelum kami sampai ke pelabuhan.  Aku pun mengambil jalan memutar lewat Nunukan.

Pulau kecil yang dimiliki oleh 2 negara Indonesia dan Malaysia dengan begitu banyak cerita didalamnya yang tunggu untuk aku “baca”. Untuk menuju Sekolah Tapal Batas perjalanan kami lanjutkan dengan menggunakan mobil sewaan. Barulah sekitar pukul 18:30 WITA kami sampai di Sekolah Tapal Batas.

Sekolah ini berada persisis berada di perbatasan Indonesia-Malaysia. Hanya dengan berjalan kaki anak-anak Indonesia yang bermukim di wilayah malaysia datang ke tempat ini setiap harinya untuk bersekolah. Mereka adalah anak-anak para buruh di kebun kelapa sawit milik Malaysia.