Pelatihan PAIKEM “Ketika Kurikulum telah Berubah”
Guru merupakan aset utama pendidikan yang
dituntut memiliki empat kompetensi utama, yakni kompetensi paedagogik,
profesional, sosial, dan kompetensi kepribadian. Empat macam kompetensi ini,
tanpa terkecuali, harus melekat kuat dalam diri setiap orang yang bercita-cita
ingin berprofesi sebagai seorang pendidik di tingkat satuan pendidikan manapun
di Indonesia. Walaupun sejatinya orientasi jabatan keguruan adalah pengabdian,
namun sebagai sebuah “proyek” masa depan bangsa, guru adalah profesi yang
mensyaratkan kualifikasi tertentu. Walaupun faktanya guru adalah profesi yang
kesejahteraannya masih terbilang minim, setiap guru harus berupaya memenuhi
segenap kewajiban demi memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak
didiknya.
Munculnya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang diterapkan secara penuh di tahun 2004, kemudian
disempurnakan kembali dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak
tahun 2006 yang lalu terbilang telah banyak memberikan perubahan dalam struktur
pendidikan di Indonesia. Munculnya dua kurikulum baru ini secara historis
memang tidak bisa dipisahkan dari tuntutan kondisi masyarakat dan bangsa yang
masih kuat dipengaruhi oleh euforia reformasi kala itu. Perubahan kurikulum ini
tak lain adalah jawaban pemerintah dalam rangka mempercepat penuntasan
reformasi di bidang pendidikan. Reformasi pendidikan ini pulalah yang kemudian
juga melatar belakangi pembentukan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan
(BSNP) sebagai pengawal keberhasilan sistem pendidikan nasional melalui
pembuatan delapan standar nasional pendidikan.
Diberlakukannya KTSP 2006 merupakan
penjabaran dari skema reformasi pendidikan
yang mendesak agar bisa diwujudkannya otonomi pendidikan yang selaras
dengan iklim otonomi daerah. Kurikulum pendidikan kita pada hari ini tidaklah
lagi bersifat sentralistik dengan
menekan guru untuk melaksanakan paket kurikulum dari pusat tanpa
memperhatikan kondisi dan kebutuhan di tingkat daerahnya. Artinya, keberhasilan
pendidikan nasional tidak lagi hanya menjadi beban tanggung jawab pemerintah
pusat saja, tetapi seluruh stakeholder pendidikan, baik itu pemerintah daerah,
dewan pendidikan, sekolah, komite sekolah, guru dan juga segenap masyarakat.
Dari sinergisasi ini diharapkan dapat mengembangkan pola pengelolaan pendidikan
yang memiliki kultur partisipatif .
Kesulitan dalam menyusun kurikulum
salahsatunya dikarenakan banyak dipengaruhi oleh keterbatasan guru dalam
menguasai bidang keilmuan yang harus diajarkannya. Umumnya guru lebih senang
mengajar dengan mengacu pada buku-buku cetak pegangan siswa, bukan langsung dari
referensi keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Katerbatasan
keilmuan guru dapat dilihat dari data
milik Departemen Pendidikan Nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 yang
menyebutkan bahwa 77,85 persen guru di tingkat SD dinyatakan tidak layak
menjadi guru. Besarnya angka tersebut tentunya merupakan konsekuensi dari UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menuntut guru SD harus berlatar
belakang pendidikan minimal S1, sedangkan selama ini guru SD biasanya hanya
berpendidikan D2 atau bahkan masih banyak yang masih berpendidikan SPG/SMA.
Tak bisa dipungkiri, pengembangan
kurikulum di sekolah juga terhambat oleh masih minimnya kesejahteraan guru.
Gaji guru yang rendah, terutama guru honorer, mengakibatkan para guru menjadi
sulit untuk melakukan pengembangan diri. Jangankan untuk membeli buku atau
mengikuti pelatihan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya saja masih
ada ribuan guru yang masih bergulat dengan kemiskinan karena pendapatannya
berada di bawah rata-rata upah buruh di pabrik, padahal mereka adalah tenaga
pendidik yang berpendidikan. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ketua Umum
Pengurus Besar PGRI, Sulistio, bahwa perlu ada keberpihakan semua pihak untuk
membantu menjadikan guru di Indonesia lebih bermartabat dan profesional
diantaranya melalui pengaturan supaya gaji guru layak atau minimal sama dengan
upah umum di daerah (Kompas, 27 Oktober 2009). Peningkatan mutu guru memang
tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi, namun agar adil, hal ini harus pula
diiringi dengan peningkatan kesejahteraan guru.
Guru adalah eksekutor terakhir yang
memegang kunci keberhasilan reformasi pendidikan, karena merekalah yang setiap
hari berhadapan langsung dengan wajah pendidikan kita di ribuan sekolah di
seluruh penjuru tanah air. Amanah reformasi pendidikan akan berhasil ketika
kurang lebih 2,8 guru Indonesia semuanya ikhlas bergerak dan bersatu visi dalam
gerakan pengembangan kurikulum mandiri di sekolah ajarnya masing-masing.
Bukanlah hal yang utopi jika seratus persen guru Indonesia mau dan mampu
menghasilkan kurikulum serta materi ajarnya sendiri. Namun tentunya hal ini
memerlukan banyak dukungan terutama pemerintah, baik di pusat atau pun di
daerah, agar mampu mensubsidi dan memfasilitasi secara lebih luas beragam
program pengembangan profesionalisme keguruan. Sertifikasi yang merupakan
program paling populer dalam peningkatan mutu guru selama ini baru bisa
memfasilitasi sekitar 500 ribu guru. Sedangkan di belakangnya masih lebih
banyak lagi guru yang berdesak-desakan mengantri sambil berharap-harap cemas.
Tak ubahnya laksana seorang pahlawan,
guru adalah sosok yang sangat didambakan bisa menjadi sumber inspirasi
masyarakat, minimal bagi anak-anak didiknya. Dari kelas ajarnya, sesungguhnya
setiap guru memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan penting bagi dunia.
Guru dengan berbekal kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosionalnya amat
diharapkan agar sanggup memotivasi, membimbing dan memberi teladan bagi
siswa-siswi yang setiap hari dididiknya agar kelak menjadi generasi-generasi
baru yang mampu mengubah bangsa, bahkan dunia, menjadi jauh lebih baik dari
hari ini.