Jumat, 20 Mei 2016

MENAKLUKKAN SANG KOMBET (AIDIL)


MENAKLUKKAN SANG KOMBET (AIDIL)
 Muhammad Aidil. Siswaku di kelas I Sekolah Tapal Batas MI Darul Furqan. Teman-temannya biasa memanggilnya Aidil. Tinggal bersama orang tuanya di Kongsi 10 Bergusung, Malaisia – tempat pemukiman para buruh kelapa sawit milik perusahaan Malaysia-. Sama seperti teman-temannya yang lain, setiap harinya Aidil berjalan kaki melintasi batas negeri untuk bersekolah. “kalau liburan, aku bantu bapak pungut biji sawit. Nanti bisa dibagi duit untuk jajan” ungkapnya ketika aku tanya aktivitasnya ketika hari libur.  

Cita-citanya ingin menjadi kombet (tentara). Karena cita-citanya itu, Aidil sangat senag jika di hukum push-up saat latihan pramuka. Gaya jalannya pun begitu lihai mencontohkan seorang tentara perbatasan yang melenggak ke kanan dan ke kiri menghampiri mobil yang dicurigai membawa narkoba. Hampir setiap hari Aidil berkelahi dengan temannya di sekolah pada saat pembelajaran berlangsung terlebih lagi keluar istirahat. Semua temannya ditantang untuk berkelahi. Kakak kelasnya sekali pun. Tak ada yang membuatnya takut. Anggapannya, dialah yang paling hebat.

Aku pun di buat geram awal berjumpa denngannya. Saat itu aku sedang mendampingi proses pembelajaran di kelas I. Dari awal pembelajaran Aidil hanya terus berbaring di lantai. Teguran dari gurunya tak dihiraukan. Saat bangunkan, dia melemaskan badannya sambil berpura-pura tidur. Jika di tegur dengan nada yang keras, Aidil malah lari bersembunyi di balik tumpukan papan penutup jendela. Aku mencoba menghampirinya, menarik tangannya untuk mengajaknya kembali ke tempat duduknya agar mau ikut belajar. Reaksinya masih sama, melemaskan badannya dan berpura-pura tidur.


Bukunya masih kosong dan sangat sulit menyuruhnya menyelesaikan sebaris tulisan pun. Jika di paksakan, dia akan marah keluar kelas untuk bermain. Ah... anak ini, di biarkan malah bermalas-malasan, di paksa malah makin menjadi.

Tak ada asap jika tak ada api. Sikapnya yang demikian pastilah beralasan. Perhatianku kucoba fokuskan kepadanya dibeberapa hari kemudian. Setelah memerhatikannya beberapa kali akupun mengetahui penyebabnya. Ternyata Aidil belumlah lancar menulis walaupun telah menghafal abjad. Itulah yang membuatnya malas menulis ketika di kelas. Ketika tetan-temannya yang lain sudah menyelesaikan tugasnya, Aidil malah kebingungan menuliskan setiap abjad di paragraf pertama tulisannya. Bahkan Aidil harus berdiri persis di depan papan tulis sambil menunjuk setiap huruf agar bisa menuliskannya dengan benar. Tapi sayang, satu-satunya usaha terbaik yang bisa dilakukannya tersebut mendapat sumbut yang kurang baik dari teman-temannya. Caranya tersebut menghalangi siswa lainnya untuk membaca tulisan di papan tulis. Akhirnya tak jarang Aidil sering ditegus oleh temannya karena hal itu dan itulah yang membuat bukunya selalu kosong, berpura-pura tidur, atau melarikan diri saat pembelajaran.

Tak ada yang bisa menahannya saat sedang marah. Bermain di luar lebih baik baginya dibanding duduk dikelas yang tidak bisa memahaminya.

Akhirnya masa itu pun tiba. Aku menjadi guru model di kelas I. Aidil telah menjadi sosok monster kecil yang telah membuatku geram beberapa hari ini. Kelaspun di mulai dan Aidil masih dengan sikapnya yang sama. Baginya semua guru saama saja. Kuturuti keinginannya untuk tidak menyelesaikan tulisan saat pembelajaran dengan syarat Aidil tetap duduk di kelas mendengarakan kelasku. Tapi hal itu tak dapat menahannya cukup lama. Sesekali waktu dia mencuri-curi waktu untuk keluar kelas. Akhirnya aku memberikannya sanksi. Tak boleh keluar main sebelum selesai menulis. Hukuman tersebut dijalaninya dengan menggerutu. Dengan cara yang sama berdiri di depan kelas dan menunjuk tiap abjad, Aidil hanya mampu menyelesaikan 2 baris dari 5 baris tulisan.

Tak apalah untuk hari ini, setidaknya Aidil bisa membawa hasil tulisaannya sendiri untuk di perlihatkan kepada orang tuanya. Betapa senangnya dia ketika aku memberi nilai 80 untuk 2 baris tulisannya tersebut. Aku janji padanya jika ia menyelesaikan sisanya di rumah, aku akan memberinya nilai 100. Akupun menuliskan ulang materi hari itu di selembar kertas dan menempelkan ke bukunya.
Keesokan harinya semacam aku tak percaya. Tugas yang aku berikan diselesaikannya dengan baik. Tak hanya menyelesaikan tugasnya, semua tulisan materi kemarin di ulang tulisnya dua kali dan di tambah materi penjumlahan dari ibunya. Aku tunaikan janjiku kepadanya, nilai 100 untuk tugas dariku dan menambahkan nilai 100 untuk tugas dari ibunya. Hari itu kulihat reka senyum polosnya mendapat nilai 100. Betapa bahagianya Aidil saat itu. Tak pernah kemelihat dia sebahagia itu sebelumnya. Wajarlah bila iya sangat bahagia, jangankan dapat nilai 100, mendapat nilaipun sangat jarang karena tak pernah menulis. Perlakuan yang sama aku lakukan bagi siswa siswi lainnya yang mempunyai kendala seperti Aidil.



Perlahan akupun mulai bisa menaklukan Aidil si Kombet Perbatasan. Membuatkan salinan materi untuk dituliskaannya kembali di rumah cukup berhasil. Dan selalunya aku memberikan tugas tersebut di saat melaksanakan kelas model walaupun Aidil hanya menyelesaikan beberapa baris saat di sekolah. Tapi sisanya selaalu ia selesaikan di rumah dan memperlihatkannya besok di sekolah. “Pak Ustadz, ini tulisanku. Bagi nilai! Nanti aku kasi liat lagi ibuku.” Pinta Aidil Aidil dengan gaya nyengirnya yang khas.

SSG, 20 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar