MENAKLUKKAN SANG KOMBET (AIDIL)
Muhammad Aidil. Siswaku di kelas I Sekolah
Tapal Batas MI Darul Furqan. Teman-temannya biasa memanggilnya Aidil. Tinggal
bersama orang tuanya di Kongsi 10 Bergusung, Malaisia – tempat pemukiman para
buruh kelapa sawit milik perusahaan Malaysia-. Sama seperti teman-temannya yang
lain, setiap harinya Aidil berjalan kaki melintasi batas negeri untuk
bersekolah. “kalau liburan, aku bantu bapak pungut biji sawit. Nanti bisa dibagi
duit untuk jajan” ungkapnya ketika aku tanya aktivitasnya ketika hari libur.
Cita-citanya ingin menjadi kombet
(tentara). Karena cita-citanya itu, Aidil sangat senag jika di hukum push-up saat latihan pramuka. Gaya
jalannya pun begitu lihai mencontohkan seorang tentara perbatasan yang
melenggak ke kanan dan ke kiri menghampiri mobil yang dicurigai membawa narkoba.
Hampir setiap hari Aidil berkelahi dengan temannya di sekolah pada saat
pembelajaran berlangsung terlebih lagi keluar istirahat. Semua temannya
ditantang untuk berkelahi. Kakak kelasnya sekali pun. Tak ada yang membuatnya
takut. Anggapannya, dialah yang paling hebat.
Aku pun di buat geram awal
berjumpa denngannya. Saat itu aku sedang mendampingi proses pembelajaran di
kelas I. Dari awal pembelajaran Aidil hanya terus berbaring di lantai. Teguran
dari gurunya tak dihiraukan. Saat bangunkan, dia melemaskan badannya sambil
berpura-pura tidur. Jika di tegur dengan nada yang keras, Aidil malah lari
bersembunyi di balik tumpukan papan penutup jendela. Aku mencoba
menghampirinya, menarik tangannya untuk mengajaknya kembali ke tempat duduknya
agar mau ikut belajar. Reaksinya masih sama, melemaskan badannya dan
berpura-pura tidur.
Bukunya masih kosong dan sangat
sulit menyuruhnya menyelesaikan sebaris tulisan pun. Jika di paksakan, dia akan
marah keluar kelas untuk bermain. Ah... anak ini, di biarkan malah
bermalas-malasan, di paksa malah makin menjadi.
Tak ada asap jika tak ada api.
Sikapnya yang demikian pastilah beralasan. Perhatianku kucoba fokuskan
kepadanya dibeberapa hari kemudian. Setelah memerhatikannya beberapa kali
akupun mengetahui penyebabnya. Ternyata Aidil belumlah lancar menulis walaupun
telah menghafal abjad. Itulah yang membuatnya malas menulis ketika di kelas.
Ketika tetan-temannya yang lain sudah menyelesaikan tugasnya, Aidil malah
kebingungan menuliskan setiap abjad di paragraf pertama tulisannya. Bahkan
Aidil harus berdiri persis di depan papan tulis sambil menunjuk setiap huruf
agar bisa menuliskannya dengan benar. Tapi sayang, satu-satunya usaha terbaik
yang bisa dilakukannya tersebut mendapat sumbut yang kurang baik dari
teman-temannya. Caranya tersebut menghalangi siswa lainnya untuk membaca
tulisan di papan tulis. Akhirnya tak jarang Aidil sering ditegus oleh temannya
karena hal itu dan itulah yang membuat bukunya selalu kosong, berpura-pura
tidur, atau melarikan diri saat pembelajaran.
Tak ada yang bisa menahannya saat
sedang marah. Bermain di luar lebih baik baginya dibanding duduk dikelas yang
tidak bisa memahaminya.
Akhirnya masa itu pun tiba. Aku
menjadi guru model di kelas I. Aidil telah menjadi sosok monster kecil yang
telah membuatku geram beberapa hari ini. Kelaspun di mulai dan Aidil masih
dengan sikapnya yang sama. Baginya semua guru saama saja. Kuturuti keinginannya
untuk tidak menyelesaikan tulisan saat pembelajaran dengan syarat Aidil tetap
duduk di kelas mendengarakan kelasku. Tapi hal itu tak dapat menahannya cukup
lama. Sesekali waktu dia mencuri-curi waktu untuk keluar kelas. Akhirnya aku
memberikannya sanksi. Tak boleh keluar main sebelum selesai menulis. Hukuman
tersebut dijalaninya dengan menggerutu. Dengan cara yang sama berdiri di depan
kelas dan menunjuk tiap abjad, Aidil hanya mampu menyelesaikan 2 baris dari 5
baris tulisan.
Tak apalah untuk hari ini,
setidaknya Aidil bisa membawa hasil tulisaannya sendiri untuk di perlihatkan
kepada orang tuanya. Betapa senangnya dia ketika aku memberi nilai 80 untuk 2
baris tulisannya tersebut. Aku janji padanya jika ia menyelesaikan sisanya di
rumah, aku akan memberinya nilai 100. Akupun menuliskan ulang materi hari itu
di selembar kertas dan menempelkan ke bukunya.
Keesokan harinya semacam aku tak
percaya. Tugas yang aku berikan diselesaikannya dengan baik. Tak hanya
menyelesaikan tugasnya, semua tulisan materi kemarin di ulang tulisnya dua kali
dan di tambah materi penjumlahan dari ibunya. Aku tunaikan janjiku kepadanya,
nilai 100 untuk tugas dariku dan menambahkan nilai 100 untuk tugas dari ibunya.
Hari itu kulihat reka senyum polosnya mendapat nilai 100. Betapa bahagianya
Aidil saat itu. Tak pernah kemelihat dia sebahagia itu sebelumnya. Wajarlah
bila iya sangat bahagia, jangankan dapat nilai 100, mendapat nilaipun sangat
jarang karena tak pernah menulis. Perlakuan yang sama aku lakukan bagi siswa
siswi lainnya yang mempunyai kendala seperti Aidil.
Perlahan akupun mulai bisa
menaklukan Aidil si Kombet Perbatasan. Membuatkan salinan materi untuk
dituliskaannya kembali di rumah cukup berhasil. Dan selalunya aku memberikan
tugas tersebut di saat melaksanakan kelas model walaupun Aidil hanya
menyelesaikan beberapa baris saat di sekolah. Tapi sisanya selaalu ia
selesaikan di rumah dan memperlihatkannya besok di sekolah. “Pak Ustadz, ini
tulisanku. Bagi nilai! Nanti aku kasi liat lagi ibuku.” Pinta Aidil Aidil dengan
gaya nyengirnya yang khas.
SSG, 20 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar