Doc. Pribadi: Perjalanan anak STB ketika pulang dari sekolah |
Indonesia telah mewajibkan rakyatnya untuk menempuh bangku pendidikan. Itu artinya setiap anak harus bersekolah. Tidak terkecuali. Terlepas dari permasalahan carut marut permasalahan anak-anak di Indonesia yang putus atau tak dapat bersekolah. Terus bagaimana dengan anak Indonesia yang tinggal di luar negeri dan setiap hari pulang-pergi bersekolah di Indonesia? Jangan bayangkan mereka adalah anak orang kaya karena mereka hanyalah anak buruh sawit. Bagaimana kisah perjalanan mereka ke sekolah? Ini adalah tulisan dari siswa yang baru naik kelas 3 Madrasah Diniyah Darul Furqan Sekolah Tapal Batas. Cerita lucu yang bisa membuat kita bersedih jika kita berpikir.
PERJALANAN KE SEKOLAH
YANG TAK KENAL HUJAN ATAU PANAS
Saya Syamsiar. Saya adalah murid SMPN 1 Sebatik Tengah.
Sekolah saya itu jauh sekali dari tempat tinggal saya. Kurang lebih 4 km jika
berjalan kaki.
Setiap harii saya harus bangun pagi-pagi sekali. Yaitu
jam 4 subuh saya sudah bangun. Saya selalu tidak bisa bangun sendiri. Saya selalu
dibangunkan oleh ayah dan ibu yang sudah bangun duluan untuk menyiapkan sarapan
untuk kami. Saya mempunyai 2 saudara perempuan dan 2 saudara laki-laki. 2
saudara perempuan sayasekolah di SDN 005 Sebatik Tengah, satu yang laki-laki sudah
bekerja dan yang satu lagi masih kecil. Setiap pagi kami bertiga bangun
pagi-pagi untuk pergi ke sekolah.
“Siar... bangun! Siar... bangun!”. Ayah saya
membengunkan saya namun saya belum juga bangun.
“Siar... bangun! Siar... bangun!”. Ayah membangunkan
saya lagi. Dan kali itupun ku ternagun dari tidurku yang sangat lelap.
Saya bangun pagi, mandi, sesudah mandi saya
berpakaian lalu berwudhu untuk shalat subuh. Setelah shalat subuh saya lalu
pergi makan. Sesudah makan, saya bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Mak... Pak... saya pergi sekolah dulu”. Saya berpamitan
kepada orang tua.
Kebetulan pagi itu cuaca kurang baik.
“Sepertinya mau hujan”. Ujarku dalam hati. Aku lalu
masuk lagi ke rumah mengambil payung untuk berjaga-jaga jangan sampai hujan
saat di perjalanan. Kini saya hanya pergi ke sekolah hanya memakai sandal
supaya sepatu saya tidak kotor terkena cipratan hujan. Lalu saya berpamitan
lagi ke orang tua.
Saya berjalan dengan tiga orang laki-laki yang
hampir seusiaku. Tiba-tiba saja dipertengahan jalan hujan turun dengan derasnya
membasahi kami berempat. Saya mengeluarkan payung. Sementara tiga teman saya
sibuk untuk mencari tempat berteduh. Saya hanya bisa menolong mereka dengan
membawakan buku-buku mereka yang banyak sekali. Yang beratnya sampai membuat
badan saya sakit.
Lalu teman saya yang bernama Dimas meminta
benda-benda yang tajam guna untuk memotong daun pisang agar dapat memayungi
badan mereka yang hampir basah semuanya. Tapi saya tak punya benda tajam untuk
memotong daun pisang. Merekapun mencari batu tajam yang bisa memotong daun
pisang.
Perjalanan kaki itu begitu melelahkan saya yang
harus membawa buku-buku yang sangat berat. Di tambah lagi sepatu dan payung
yang saya pegang.
Setibanya di tempat kendaraan yang selalu saya
naiki, hujan sudah mulai redah. Saya basah sebagian badan sementara tiga teman
saya basah kuyup karena tidak ada tempat untuk berteduh. Kami mencuci kaki lalu
memakai sepatu dan pakaian yang kami lepas. Sesudah itu barulah kami naik ke
kendaraan yang sdh menunggu kami.
Begitulah kisah perjalanan kami untuk pergi ke
sekolah. Tak kenal hujan ataupun panas.